Do’a Bersama 13 Tahun Wafatnya Pemimpin GAM, Tgk Hasan Tiro

 

 

Tgk Hasan Tiro di Swedia. Foto repro: Suparta dari dokumen pribadi

Batasaceh.com – Petinggi mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berkumpul di kantor Partai Aceh, Lueng Bata, Banda Aceh, Sabtu (3/6/2023). Mereka menggelar haul atau hari wafatnya Wali Nanggroe Aceh Tgk Hasan Muhammad Di Tiro, secara sederhana dengan doa-doa.

Tepat 13 tahun lalu atau pada Kamis siang, 3 Juni 2010, Tgk Hasan Tiro sebagai pemimpin tertinggi GAM meniggal dunia dalam perawatan medis di Rumah Sakit dr Zainoel Abidin Banda Aceh.

Deklarator GAM tersebut wafat dalam usia 84 karena komplikasi penyakit. Tokoh penting dalam sejarah Aceh itu disalatkan ribuan orang di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Selanjutnya dimakamkan tepat di sebelah nisan leluhurnya, Pahlawan Nasional dari Aceh, Tgk Chik Di Tiro.

Dalam ceramah yang sendu melepas jenazah Tgk Hasan Tiro, ulama Aceh Teungku Muhibuddin Waly berkata, “Semoga kita semua menjaga amanah Wali (Hasan Tiro) untuk terus menjaga perdamaian abadi di Aceh.”

Tiga hari berturut-turut bendera setengah tiang berkibar di Aceh, untuk menghormati jasanya dalam berperang dan berdamai, memperjuangkan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh.

Tgk Hasan Tiro lahir di Gampong Tiro, Pidie, 25 September 1925. Berasal dari keluarga ulama, beliau ikut dalam perang melawan Belanda, saat Indonesia baru merdeka. Hasan Tiro sempat kuliah di Universitas Islam Indonesai, Yokyakarta. Pada awal 1948, menjadi anggota staf Wakil Perdana Menteri II Syafruddin Prawiranegara

Melanjutkan pendidikan ke Amerika Serikat, Tgk Hasan Tiro sempat bekerja paruh waktu di Perwakilan Indonesia untuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Selanjutnya konflik terjadi di Aceh, Tgk Hasan Tiro bergabung ke dalam Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Aceh, di bawah pimpinan Tgk Daud Beureueh. Beliau menjadi Duta Besar Aceh untuk perjuangan di PBB, tahun 1953. Pemerintah Indonesia mencabut kewarganegaraanya.

Kemudian perjuangan DI/TII Aceh padam lewat perjanjian perdamaian pada 9 Mei 1962, Aceh mendapat otonomi khusus. Tgk Hasan memilih tetap tinggal di Amerika Serikat menjadi pengusaha di bidang minyak, emas, timah, dan permukiman.

Usai konflik DI/TII, beliau kerap bertemu sejumlah tokoh Aceh di luar negeri, membahas politik dan nasib Aceh. Sampai kemudian sebuah kesimpulan diambil, bahwa gerakan kemerdekaan harus dideklarasikan. Persoalan ketidakadilan dan kesejahteraan yang belum didapat warga Aceh menjadi dasar utama, berbanding terbalik dengan kekayaan alam.

Tgk Hasan Tiro kemudian mendeklarasikan GAM di Gunung Halimun, Pidie pada 4 Desember 1976. Sejak itu, beliau menjadi buruan kelas wahid aparat keamanan, dicap pemberontak yang merongrong stabilitas keamanan Indonesia. Tiga tahun lamanya, Tgk Hasan Tiro bergerilya, memimpin pasukannya di belantara Aceh. Pada 28 Maret 1979, beliau meninggalkan Aceh melalui sebuah pelabuhan kecil di pesisir Jeunieb, Bireuen. Ia kembali ke Amerika Serikat, hingga akhirnya menetap di Alby, Norsborg, Swedia. Memimpin perjuangan hampir tiga dekade di sana.

Tsunami melanda Aceh, 26 Desember 2004, perang masih terjadi. Pemerintah Indonesia dan GAM kembali serius merintis perdamaian, agar tak banyak lagi warga Aceh yang menjadi korban sia-sia. Pemerintah mengajukan sejumlah tawaran kepada GAM untuk berunding. Mereka sepakat duduk semeja, difasilitasi Crisis Management Initiative (CMI), pimpinan mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, sebagai juru penengah. Semua pada tujuan sama, membangun Aceh kembali dari keturpurukan akibat konflik dan bencana.

Akhir Januari 2005, kedua delegasi awal bertemu di Helsinki, Finlandia. Lebih setengah tahun, dialog lima babak di Helsinki sampai pada kesimpulannya. Ketua tim perunding Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaluddin dan Ketua perunding GAM, Perdana Menteri, Malik Mahmud, membubuhkan tanda tangan perdamaian pada 15 Agustus 2005. Kesepakatan ini dikenal dengan MoU Heksinki.

Usai Damai Aceh disepakati, Tgk Hasan Tiro kembali ke Aceh pada 11 Oktober 2008. Saat itu puluhan ribu orang dari berbagai kabupaten//kota berbondong-bondong datang ke Banda Aceh, memenuhi Bandara Sultan Iskandar Muda dan Masjid Raya Baiturrahman. Wali Hasan Tiro pulang melalui Malaysia, dijemput sejumlah sahabatnya

Di Masjid Raya Baiturrahman, Wali Hasan Tiro menyampaikan amanahnya, dibacakan Tgk Malik Mahmud. “Biaya perang mahal, biaya memelihara perdamaian juga lebih mahal. Maka dari itu, peliharalah damai untuk kesejahteraan kita semua.”

Bagi Tgk Hasan Tiro, kepulangannya ke Aceh adalah janji yang ditunaikan sekaligus menumpahkan kerinduan pada tanah leluhur. “Saya akan segera kembali begitu misi terlaksana dengan sempurna,” tulis Tgk Hasan Tiro dalam The Price of Freedom: the Unfinished Diary ( Acehkini )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *