Batasaceh.com– Masyarakat Aceh Utara mulai dilanda kekhawatiran mendalam terhadap arah kebijakan pemerintah daerah. Alih-alih menghadirkan kemudahan dan keberpihakan, sejumlah regulasi justru dinilai memberatkan rakyat kecil. Kondisi ini menimbulkan paradoks menyakitkan: di satu sisi pemerintah menggaungkan slogan “Aceh Utara Bangkit”, namun di sisi lain rakyat justru semakin terpuruk akibat beban kebijakan yang dianggap tidak pro terhadap masyarakat.
Keresahan terbesar muncul dalam pengurusan administrasi pertanahan dan perpajakan. Bukannya disederhanakan, masyarakat justru dipaksa membayar pajak yang nilainya jauh lebih tinggi dibandingkan harga transaksi riil di lapangan.
Sebagai contoh, tanah kebun atau lahan kampung yang dibeli warga seharga Rp30.000 per meter, dalam proses pengurusan Akta Jual Beli (AJB) harus dikenakan pajak berdasarkan harga yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp152.000 per meter.
“Ini jelas tidak masuk akal. Kami beli tanah dengan harga murah, tapi saat mengurus administrasi dipajaki seolah tanah kami bernilai lima kali lipat. Pemerintah sepertinya hanya berpikir mengejar PAD, bukan kondisi rakyat,” keluh salah seorang warga di Aceh Utara
*Proses Tanpa Partisipasi Publik*
Ironisnya, penetapan harga pasar tanah itu dilakukan tanpa melibatkan perwakilan masyarakat di tingkat gampong, termasuk para geuchik. Padahal, mereka adalah pihak yang paling memahami kondisi ekonomi lokal. Akibatnya, kebijakan ini dipandang sebagai instrumen “pemerasan resmi” yang dibungkus dalam aturan pemerintah.
Plt Ketua Apdesi Aceh Utara, Al Halim Ali, saat dikonfirmasi media mengaku belum mengetahui secara rinci kebijakan tersebut karena baru kembali dari ibadah umrah. Namun ia menegaskan, pemerintah harus lebih peka terhadap daya tahan masyarakat dalam menghadapi beban ekonomi.

“Kalau kebijakan seperti ini terus dipaksakan, masyarakat bisa saja melawan. Jangan sampai gejolak yang terjadi di daerah lain ikut menjalar ke Aceh Utara,” ujarnya singkat.
*Kekhawatiran Akan Gejolak Sosial*
Masyarakat mulai membandingkan kondisi ini dengan situasi di Jakarta, di mana kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada rakyat memicu gelombang kemarahan publik. Jika pola serupa terus dijalankan di Aceh Utara, bukan tidak mungkin konflik horizontal dan aksi protes besar-besaran akan pecah.
Salah seorang pengamat lokal menilai, pemerintah daerah semestinya memprioritaskan kebijakan yang menyejukkan, bukan sebaliknya menambah beban rakyat. “Slogan Aceh Utara Bangkit” akan berubah jadi ironi jika pemerintah lebih sibuk menghitung PAD ketimbang memikirkan perut rakyat kecil,” ujar salah satu akademisi di Aceh Utara.