Warung Tegal, atau lebih dikenal dengan sebutan warteg, merupakan salah satu kuliner khas Indonesia yang berasal dari Tegal, Jawa Tengah. Warteg identik dengan berbagai hidangan sederhana dengan harga terjangkau.
Meski tidak semuanya, mayoritas warteg memiliki desain bangunan yang sama. Yaitu memiliki dua pintu, meja dan bangku panjang yang langsung menghadap ke etalase makanan. Hal-hal tersebut ternyata ada alasannya tersendiri lho.
Filosofi dua Pintu
Dilansir dari Beautynesia, pada umumnya, Warung Tegal mempunyai bentuk bangunan yang sederhana, dilengkapi dua pintu di bagian kanan dan kiri, serta nama warteg di antaranya. Ternyata ada maksud dan makna tertentu dari desain tersebut.
Dua pintu yang terletak di sisi kanan dan kiri bangunan punya makna banyak rezeki. Namun jika dilihat dari segi arsitektur, dua pintu ini membantu alur pembelian, yakni mengurangi antrian pembeli dengan cara memanfaatkan ruang terbatas sehingga pembeli tak terhalang untuk keluar.
Selain itu, pilihan warna pada warteg juga punya makna. Misalnya warna biru melambangkan Kota Tegal yang berada di area pesisir.
Makna Bangku Panjang di Warteg
Saat memasuki Warteg, hal pertama yang pengunjung lihat adalah berbagai macam hidangan dalam etalase kaca serta meja dan bangku yang mengelilinginya. Warteg sering kali menggunakan bangku kayu panjang. Ternyata ada filosofi dibaliknya lho.
Penggunaan kotak kaca memerhatikan faktor fungsional karena memudahkan pembeli memilih makanan. Sementara, bangku panjang yang digunakan menyimbolkan kesetaraan atau dengan kata lain, orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat bisa duduk, makan, sambil mengobrol bersama di sana.
Mengenal Sejarah Warteg
Warteg sendiri muncul sebagai jawaban untuk masyarakat urban yang mencari hidangan yang beragam dan terjangkau. Kondisi ini lantas menjadi peluang usaha bagi masyarakat Tegal yang merantau ke perkotaan. Sebagaimana diketahui, masyarakat Tegal sudah mulai merantau ke Jakarta sejak tahun 1960-an.
Awalnya, pengusaha warteg berasal dari 3 desa di Tegal, yaitu Desa Sidapurna, Desa Sidakaton, dan Desa Krandon. Mereka membuka warteg bukan cuma karena alasan ekonomi saja, tapi juga menurunkan tradisi yang sudah ada dari generasi sebelumnya.
Adapun hingga sampai saat ini, warteg masih tetap populer. Kepemilikannya pun tidak hanya berasal dari masyarakat Tegal saja dan semakin mudah ditemukan di banyak kota besar di Indonesia